Kerja Keras kartunis
Oleh Rasnadi Nasry
Agaknya, jika berbicara soal kerja kartunis
mayoritas orang beranggapan bahwa proses kreatif dalam menghasilkan karya yakni
kartun adalah persoalan yang sepele. Toh hanya membutuhkan selembar kertas dan
sebatang pensil lalu mengoreskannya dalam bentuk gambar. Bahkan anak kecil saja
bisa melakukannya. Tapi paradigma itu salah!
Mengapa saya secara lantang mengatakan demikian? Selain saya sering mendapat anggapan-anggapan demikian toh sesungguhnya pekerjaan yang dilakoni oleh seorang kartunis dalam berkarya justru lebih rumit dari apa yang kebanyakan orang pikirkan. Hal ini seperti saya rasakan dan juga teman-teman saya yang juga kartunis akui.
Jika seorang penulis, wartawan,
kolumnis, ilmuan dan profesi lainnya harus
menjunjung tinggi profesionalitas dalam berkarya, maka tentu saja mereka perlu mengerti sistematika berkarya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Contoh saja seorang novelis (terlepas genre apa yang akan dipilih dalam tulisanya) tentu saja dia telah mengerti terlebih dahulu cara dan teknik menulis agar mampu menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Dia juga perlu pengamatan, riset dan kemudian meramunya sedemikian rupa sehingga menjadi novel yang mudah dan indah untuk dibaca.
menjunjung tinggi profesionalitas dalam berkarya, maka tentu saja mereka perlu mengerti sistematika berkarya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Contoh saja seorang novelis (terlepas genre apa yang akan dipilih dalam tulisanya) tentu saja dia telah mengerti terlebih dahulu cara dan teknik menulis agar mampu menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Dia juga perlu pengamatan, riset dan kemudian meramunya sedemikian rupa sehingga menjadi novel yang mudah dan indah untuk dibaca.
Demikian pula kartunis, sesungguhnya
mereka juga berkarya secara sistemasis. Mereka juga harus berfikir efektif
untuk menghasilkan karya yang bagus dan tentu
saja baik untuk dinikmati. Bahkan seorang kartunis justru lebih banyak
melibatkan beragam elemen penting dalam kartun. Menurut Darmanto M. Sudarmo
yang juga merupakan seorang kartunis dikutip dari diskusi kartunis di Jakarta dalam
bukunya anatomi lelucon menyebutkan, setidaknya ada tiga elemen penting yang
dimiliki seorang kartunis.
Pertama adalah kompetensi dibidang
teknis artistik, dengan kata lain adalah kartunis memiliki kemampuan mengambar,
setidaknya dia mampu meyederhanakan objek dalam bentuk gambar. Misalkan dia bermaksut
menggambar gajah maka siapapun yang akan melihat gambarnya akan mengatakan bahwa
itu adalah gajah, bukan kuda. Kompetensi ini sangat penting karena kartunis itu
berkomunikasi kepada publik dengan gambar kartunnya. Tentu saja komunikasinya
akan gagal jika gambarnya tidak sesuai dengan maksutnya.
Kedua adalah Kompetensi dibidang
pengamatan, tugas ini layaknya tugas seorang wartawan atau peneliti, karena dengan sendirinya
seorang kartunis adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengamati berbagai
persoalan yang terjadi secara tepat dan akurat dan aktual. Dia menganalisis
subtansi dan detil peristiwa, membuat pertanyaan-pertanyaan dan asumsi – asumsi,
sementara dibiarkan sejenak untuk menuju proses selanjutrnya.
Ketiga adalah kompetensi di bidang humor, seorang kartunis memiliki kemampuan
sens of humor yang baik sehingga dia menghasilikan humor yang baik pula dalam
kartunnya. ini menjadi Salah satu kelebihan seorang kartunis yang mampu melihat
persoalan dari sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan orang dan bahkan sering
kali tak pernah terduga sebelumnya.
Ketiga element diatas bagaikan
komposisi yang jika padukan terkadang saling bertolak belakang, tapi tidak
dengan kartunis. Dengan kemampuan istimewanya dia mampu memadukan semua yang
dia temui dan amati dalam keseharian, diolah sedemikian rupa dalam bentuk gambar
dan disempurnakan dengan bumbu-bumbu humor hingga menjadi kartun. Kartun yang
tidak aktual terkadang terasa membosankan, jika tidak baik visualisasinya tidak
dapat dinikmati dan jika tanpa kandungan homor kartun sangat terasa sarkas dan
tidak menggelitik.
Kalau diakumulasikan ketiga elemen
tersebut maka seseungguhnya seorang kartunis adalah juga seorang seniman rupa, seorang
pemikir dan kritikus, seorang wartawan dan peneliti bahkan dia juga adalah seorang
pelawak, dan bukankah itu berarti secara esensial kerja kartunis adalah kerja
yang tidak sepele. Lalu masihkah kita tetap pada peryataan bahwa kerja kartunis
adalah kerja yang enteng-enteng saja?
Penulis adalah Pegiat Kartun dan ketua
Komunitas Komik Panyoet Aceh sekaligus Anggota Forum Lingkar Pena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar