Laman

Senin, 30 Januari 2012

Kelikan Sang Garuda

Di hamparan sampah-sampah berserakan dan menebar bau-bau busuk aku masih saja mengais-ngais benda berharga, sampah yang masih bisa dihargai. Tidak seperti aku, sama sekali tak ada harganya. Siang ini begitu terik dan menyengat, belakangan kurasakan matahari seperti semakin murka pada dunia, panasnya memanggang hingga ke tulang. Ah, tak perlu ku risaukan persoalan itu, itu urusan tuhan yang mengendalikan langit, bumi beserta isinya.




Aku masih berburu benda-benda yang bisa digantikan dengan sepeser uang. Apapun itu, apakah botol plastik, botol kaca, kawat tembaga atau teralis berkarat yang masih bisa ditimbang, atau bekas benda-benda elektronik yang bagi mereka tak berguna lagi. tak perlu banyak, setidaknya bisa untuk mengganjal dan meredakan pemberontakan cacing-cacing dalam perut keroncongan ini. tumpukan-tumpukan sampah yang berjejalan itu kurogoh dan kusibakkan, siapa tahu ada benda berharga dibaliknya.


Setiap aku menyibak sampah itu aku merasa tak tega, hatiku seperti teriris ketika ku lihat para kawanan belatung dan cacing seperti berlari pontang-panting menghindari pengusuran. Demikian juga para kecoa dan tikus-tikus lusuh yang menjerit-jerit ketakutan bagai orang-orang yang menyelamatkan diri dari serangan teror membabi buta para perampok. Namun pernah kusaksikan dikampung seberang ratusan orang-orang berseragam menghancurkan rumah-rumah kumuh, mengusir paksa para penghuninya bahkan tak peduli terhadap kehidupan mereka kemudian. Dari jauh, di sudut jalan beberapa orang berdasi tertawa-tawa ceria. keji!


Satu per satu benda-benda itu aku kumpulkan dalam karung yang berbeda. Aku bedakan menurut jenis bendanya, yang bermaterial plastik aku kumpulkan pada karung berbeda dengan yang bermaterial logam. Benda yang bermaterial logam memang sedikit lebih mahal. Setelah penuh aku mesti memikul karung-karung itu ke pengepul, jaraknya hanya tiga kilo meter dari lahan mata pencaharianku. Di bawah terik matahari yang menyengat dan sisa-sisa tenaga aku melangkahkan kaki ringkih ini.


Ada sesuatu yang ganjil kurasakan setiap perjalanan mengantarkan karung-karung berisi sumber uang ini. di jalan yang usang dan berdebu juga tempat pesta lalat-lalat busuk ini selalu saja kudengarkan kelikan. Kadang-kadang kelikan itu terdengar begitu miris dan memilukan. Namun aku sama sekali tak pernah menyaksikan Elang atau Rajawali terbang melayang di udara, sesekali bahkan dari bilik tepas yang kutinggali aku juga pernah mendengarkan kelikan itu seperti sedu-sedan, terisak dan merintih. Mungkin udara yang gersang dan cuaca terik telah menimbulkan halusinasi-halusinasi gila di kepalaku. Sesuara yang kudengarkan mungkin tak pernah ada atau ketidakseimbangan kesehatan membuat aku seolah mendengar kelikan itu. Aku tak pernah mengerti apa dan mengapa kelikan itu terngiang ditelingaku.


“Hai Ma’e, pakon lalee that droe!?” suara berat itu mengusik renunganku. Dua karung berisi sampah-sampah membubung di pundaknya lebih besar daripada yang aku pikul. “ureng lagee tanyoe hana pantas lalee, hana pereule lhe angan-angan, udep tanyoe nah cit hana di pandang lee le pemerintah!” katanya sambil berlalu. Pakaian lusuh dan telah terkoyak persis dengan ucapannya yang tak mengharap iba, tercabik. Bau menyengat yang selalu ku nikmati di lahan pencarianku tercium lagi setelah dia mendahului jalanku.


Benar kata-katanya. Aku, dia dan ribuan orang seperti kami bukanlah siapa-siapa. Bagi pemerintah mungkin kami sama persis dengan anjing-anjing liar tanpa identitas yang tak perlu di hiraukan atau Jiwa yang tak pantas untuk di beri pemeliharaan. Namun aku pernah mendengar puluhan, oh tidak mungkin ratusan bahkan ribuan anak-anak muda berteriak-teriak di depan kantor pemerintahan. Mereka bersorak, mengepalkan tinju kiri ke langit, mengikat kepala dengan seutas kain bertulisan entah apa.


Aku ingat sekali kata-kata itu. Ya aku ingat, “seharusnya para fakir miskin dipelihara oleh negara!” ya, benar kata-kata itu yang di teriakkan oleh anak muda itu. Sementara itu aku hanya mampu menekuri diri. Aku sadar, aku bukanlah orang yang akan dipelihara oleh negara atau apapun namanya karena aku bukan fakir miskin, tapi lebih dari itu. Ah, begitulah peraturan negara ini.


“ka preh ke hai lem!” Suaraku semakin parau dan tak bertenaga. Aku mencoba menyusul Muslem yang telah mendahuluiku untuk mengantarkan hasil kerjanya. Bergegas aku mengayunkan kaki ini untuk tujuan yang sama. Muslem menoleh tapi terus melangkah cepat, aku harus lebih cepat mungkin begitu maksudnya. Hanya satu kilo meter lagi jarak ke pengepul dan aku harus memaksa diri untuk menjunjung dua karung yang kurasakan semakin berat ini.


Tiba-tiba sesuatu mengagetkan langkah. Di dapanku dua ekor anjing liar melesat. Bersikejaran menjauh hanya untuk memperebutkan tulang kering yang telah membusuk. Oh... salah seekor anjing itu pernah bertarung denganku. Ya, karena hal yang serupa. Memperebutkan beberapa sampah yang telah ku asingkan untuk santap malam ku. Dia menunjukkan tatap mata sadis yang bringas juga gigi-gigi tajamnya, mengerang lalu menggertakku.


Dasar anjing! Apa haknya merebut hasil jerih payah ku. Aku tak mau kalah hanya dengan gertakan itu, ku ambil sebuah balok lalu ku hantamkan pada tubuh kusamnya. “Ainggg....” anjing itu lari terbirit-birit, pontang-panting raib kebringasannya. Sungguh aku bangga bisa mengalahkan anjing liar itu dan sangat senang mampu menyelamatkan santap istimewa ku malam itu. Kata orang banyak anjing seperti itu di negeri ini. Anjing yang suka mengambil hak yang bukan miliknya.


Beberapa langkah lagi aku akan tukarkan sekumpulan sampah dengan beberapa rupiah uang. Beberapa rupiah itu akan kubelikan makanan untuk membungkam pemberontakan para cacing-cacing di perut ini. Aku belajar dari kisah orang-orang besar di negeri ini, mereka melakukan hal yang sama untuk membungkam pemberontakan rakyat jelata dengan memberikan sedikit makanan dan uang. Lantas mereka kembali berfoya.
Aku terus melangkah memikul dua karung yang semakin berat ini. Pengepul semakin dekat namun aku semakin lemah. Semua yang ada dihadapku terlihat semakin remang-remang dan buram. Kujatuhkan dua karung itu dan hanya mampu membiarkan isinya berserakan. Aku semakin lunglai. Bumi serasa berputar terlalu cepat dan kelikan miris itu terngiang lagi dikepalaku, kemudian aku rebah terkulai. Kegelapan yang aneh menghimpuniku di sorot terik yang kuasa.


Tersadar aku kemudian bangkit. Sekitar kusaksikan seksama, sungguh berbeda. Gelap tak berpenghuni. Perlahan ku melangkah dan terus melangkah mencari celah, dan di kejauhan ku berjumpa sesosok makhluk gagah dalam kegelapan tampak bercahaya remang meringis meringkuk menekuri diri. Siapa gerangan yang begitu pilu meratap di relung gelap yang hampa ini? aku mencoba mendekatinya.


Semakin dekat wujudnya semakin kukenali. Seekor rajawali, ah mungkin saja elang tapi ia lebih gagah dan lebih perkasa. Aku mencoba terus menebak sambil terus mendekatinya. Kini aku tepat berada dihadapannya dan yang sedang ku perhatikan ini tak lain adalah sang garuda.


Dia menjerit sambil mengepakkan kedua sayap yang rapuh, beberapa bulunya luruh. Jeritan itu, kelikan itu, kepakan sayap itu merubah kegelapan menjadi terang, lalu tiba-tiba ribuan bingkai yang penuh peristiwa nyata muncul bagai lukisan yang bercerita.


Di ruang yang tidak kumengerti itu semua arah mata angin adalah demensi sisi, atas bawah, kiri kanan, depan belakang adalah ribuan bingkai peristiwa. Pada bingkai bagian depan kusaksikan jutaan manusia kurus kering memelas iba. Para pelacur yang menangis juga bayi-bayi yang menjerit tanpa ada yang menyapihnya. Pada beberapa bingkai yang lain kulihat jelas bocah-bocah mengemerincingkan pipih tutup botol di perempatan. Para belia terkulai lunglai karena serbuk dan beberapa obat terlarang. Para pemuda bermata liar dengan hati serigala mencabik-cabik mangsa juga jutaan angkara lainnya.


Sang garuda memuntahkan kelikan yang lebih pilu, memekakkan telinga. Semua roh pasti akan tergetarkan mendengar kelikannya. Lalu seketika percikan darah meleleh di dinding dan menyapu semua bingkai. Tiba-tiba bayang-bayang orang berjas dan berdasi mengusik pandanganku pada garuda dan suara tawa mereka menyakitkan telingaku. Ribuan lembar uang-uang menghujani mereka dan mereka terus tertawa ria. Tak bisa ku hentikan keliaran mereka. Aku kalut. Uang yang berjatuhan itu lalu menjadi hujan darah yang membasahiku. Kusaksikan mereka raib bersama sang garuda.
Lalu ku dengar lagi kelikan sang garuda yang menderita dan hujan telah membasahiku di jalan yang telah tergenang air yang becek. Lalat-lalat busuk telah berlindung. Dua karung yang kupunya telah sirna dan pengepul telah raib dari tempatnya. Siang yang kering itu telah berubah menjadi siang yang basah dan aku harus menjadi anjing lagi namun telah kusaksikan semua derita sang garuda.

Tidak ada komentar: