Laman

Senin, 30 Januari 2012

GARUDA KU DIPERKOSA

Tubuh tua pria itu semakin ringkih ketika harus menarik gerobak tua yang berisi sampah. Betapa aku sangat kesal melihat orang-orang disekitar yang sama sekali tak menggubris penderitaanya. Akan ku lontarkan seribu cerca dan kalau bisa harus kupangkatkan lebih banyak agar cerca menjadi hina,cela, maki,cibir dan bahkan sumpah serapah bagai sampah.

Lihatlah tubuh mereka tegap, gagah dan kuat namun mengapa begitu enggan hanya untuk membantu mendorong sepuluh dua puluh meter saja, tak lebih. Pria tua itu begitu renta, parasnya keriput, kulitnyahitam legam terbakar matahari dan tulang rusuknya seperti menyemburat di balik kaus lusuh yang tak bisa lagi diterka warnanya.


Sore itu lalu lalang kendaraan yang berseleweran sebanyak lalat-lalat busuk yang selalu menyertai pria tua itu. Tubuhnya yang ringkih bersandar di gubug tepas, tak jauh dari TPA (tempat pembuangan akhir).Dia mengeluarkan bungkusan nasi yang bentuknya tidak simetris lagi seperti terdistorsi oleh lingkaran hitam kendaraan. Perlahan dia memakan makanan yang entah dari mana asal usulnya. Sering kali kulihat ia harus bertarung dengan kucing atau anjing hanya demi mengisi kehampaan perutnyanamun bukan untuk kelangsungan hidup.

Aku merasa sangat beruntung di negeri yang seper-enam dekade merdeka dari penjajah ini, aku benar-benar merasa merdeka dan leluasa. Terkadang sesekali aku harus perpindah tempat tinggal, dan mencari reranting kering yang lain. Semua itu karena ulah kotordari sebutan untuk segala orang-orang berakhiran tor yakni koruptor, provokator juga diktator.

Perhatikan pria tua itu, sebentar lagi malaikat maut akan mencabut nyawanya. Aku sempat berdiskusi sejenak dengan Izrail ketika ia sedang menunggu waktu yang tepat mencabut nyawa.Di negeri ini aku lebih baik menyaksikan setiap kematian dari pada kelahiranbegitu katanya, kelahiran berarti penderitaan sementara kematian adalah keluangan. Melihat semua ini aku semakin percaya pernyataanya.

Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.Jelas aku tahu makna secercah ayat kudus tuhan itu. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja, tak kurang tak lebih. Nyawa, berharga atau tidak mutlak akan dipisahkan dari raga. Mau tidak mau atau suka tidak suka. Tak akan pernah ada peluang untuk bernegosiasi. Hanya saja tinggal mengkalkulasikan pahala dan dosa untuk meresultankan surga atau neraka yang nyata.

Pria tua itu tak akan sulit hanya untukmati karena baginya mati itu gratis, sementara hidup begitu payah,susah dan tentunya mahal. Raganya yang tua tak akan pernah berharga dan akan menjadi sampah di tempat sampah, hanya lalat-lalat, para cacing dan beberapa himpunan belatung busuk yang akan berpesta atau anjing liar yang merayakan sambil mengabarkan kematiannya. Akhirnya awal berakhir dan akhir menjadi awal yang kekal.

***

Pagi ini aku harus berpindah lagi dari pergumulanku yang indah.Entah mengapa aku selalu ingin menyaksikan kehidupan merdeka yang sebenarnya tak pernah merdeka. Diskusiku dengan malaikat maut tempo hari semakin membakar semangatku untuk terus mencari resah di tanah basah, menyimpan gelisah di air padah, dan memilin tanah-air di negerisesak amarah pahlawan yang telah menjadi arwah.

Aku butuh hidup dan tentunya makan sebagai penyambung hidupku. Memang belakangan ini aku begitu sulit untuk mencari makanan sedap di negeri sembarangan ini. Negeri yang tak jelas bentuk aslinya, apakah segitiga, persegi, jajar genjang ataupun trapesium? Aku sangat tidak mengerti mengapa ada negeri seamburadul ini.Ah sudahlah, akan ku coba sedikit merasakan nikmatnya tikus-tikus got gendut dan montok yang terlalu sering beranak pinak di negeri ini.

Seperti yang ku janjikan dalam gelisah akan kusaksikan seluruh kerusakan yang berserakan di negeri berantakan ini. Di setiap sudutnya, lancip, siku-siku atau tumpul aku tak peduli seberapa besar derajat dan jenis sudut itu. Akuakan mencuri-curi informasi dari setiap radikal persoalan. Hingga menghitung-hitung volume yang hentak membludak akan kegirisan dan kegamangan.

Disini, dari sisi gerobak sampah pak tua yang murung, aku akan meluncur. Aku harus mengkoordinatkan negeri ini menjadi beberapa wilayah,wilayah umbra maupun penumbra.Menatap dari atas gerobak sampah uzur ini aku sebagai bagian tubuh negeri inimengikrarkan: Akan aku kalkulasikan setiap kemerdekaan mereka! Kemerdekaan yang terhempas, kemerdekaan yang tercabik-cabik, dan kemerdekaan yang terkoyak.

Mataku yang tajam akan sangat berguna merekam kemuraman. Aku yakin dari udara pastilah lebih leluasa menyaksikan dan memetakan wilayah negeri yang terlampau raya ini. Ah aku tak peduli seberapa jauh langkah dan seberapa terisolasinya jejak ku nanti.

Aku jelas telah mengerti jawaban satu dibagi tiga, satu negeri dalam bagian sepertiga, walau tak seorang pun pernah menjelaskan namun aku lebih mahfum.
Semantara ini yang paling aku herankan adalah mengapa masih saja mereka belum banyak yang bisa membaca wilayah, persentasenya begitu miris. Dari seratus, mungkin hanya seutas ikatan jiwa yang mahir. Apakah belajar itu tak penting, Apakah sekolah itu tak berguna, Atau pendidikan itu begitu mahal sehingga mereka tak mampu untuk membelinya? Terus menelusuri arah, kelak akan membuatku mengerti jawaban dari persinggungan ini.

Dari satu terpecah menjadi tiga, timur, tengah dan barat. Kata orang negeri ini adalah surga yang terjatuh ke dunia, letaknya strategis diantara dua benua dan dua samudra. Aku sama sekali tak percaya. Malaikat penjaga surga tak pernah merapikan surga dan membuang sebagian tak berguna ke dunia hingga menjelma menjadi negeri ini. Itu hanya konotasi hiperbol saja. Terlalu konyol jika meyakini orang-orang itu bukan?

Timur.Huria yang tersinari matahari terlebih dahulu. Ku arahkan langkahku kesana.Disana akan ku temui sahabat lamaku, sahabat terindah.Bagaimana gerangan kabarnya kini?

Dari udara yang agung aku coba merekam asa tanah timur. Astaga kacau balau. Ada apa kiranya? Aku segera mendarat dan kusaksikan nyata tanah telah rata. Tak sedikit bukit yang membujur kini terkubur. Melarung gunung menjulang yang telah tenggelam. Kian luput tertaut, Laut semakin semrawut. Aku harus menemui sahabatku itu. Harus!
Jamrud cerah yang selama ini tegar telah pucat pasi lungai terkulai kelam. Di wilayah yang penduduknya hitam ini, Tanah telah menjadi hitam.Air menjelma hitam.Laut berubah hitam.Hijau berganti hitam. Dalam hitamnun jauh kusaksikan setitik berkas cahaya seseorang di puing Istana indah yang telah tereleminasi keserakahan. Tak salah lagi, dia yang harus ku temui, sahabatku,Cendrawasih.

***

Di tengah rimba akut yang lengang, di hamparan dedaunan dan reranting yang terbunuh, jutaan jangkrik menjerit-jerit. Mereka bertasbih lebih keras dari biasanya, bising. Seperti tidak terima atas perlakuan tuhan terhadap mereka. “apa salah kami tuhan sehingga kau menghukum kami begitu kejam?” ngaung jeritan itu melontar-lontar, menggema, mental, bolak balik dari pepohonan gersang ke pepohonan rapuh. Ronta itu menyemburat dari mulut-mulut mereka yang telah berdarah. Aku mencoba untuk tidak peduli walau begitu nyeri rasanya.

Tak kuhentikanLangkahku untuk menemuinya, walau raung jutaan makhluk tergiang dan berdenting di telingaku. Mereka seperti meratapi kegundahan dan menangisi kematian, kiri kanan menjerit, depan belakang meronta. Sungguh tak kuasa jika aku hanya menghibur sementara rumah dan pemakaman menyatu beradu padu.

Aku tetap berusaha merekam seluruh venomena yang terjadi, dari balik pepohonan yang lapuk ku saksikan banyak manusia rakus memaksa manusia lainnya mengeruk ceruk, menebang batang bahkan mengeksploitasi remah tanah yang semakin lemah.
Aku ingin sekali membinasakan mereka dengan cara yang lebih nista yang membuat mereka sangat menderita. Ku coba abai walau telah kusaksikan kebiadapan mereka yang telah memperkosa keperawanan hutan timur ku.

Cendrawasih menekuri dirinya, terpojok layu. Masih bisa kusaksikan megah jubah indahnya. Rupawannya tak tertandingi siapapun bagai yusuf. Aku mencoba menghampiri dan berharap kehadiranku mampu mengobati kepiluan yang dirasakannya. Ingin sekali aku bertanya tentang semua fatamorganayang ternyata realita ini. Sungguh aku menyesali perbuatan terkutuk ini.

Dia masih meringkuk, aku sungguh merasakan kegetiran yang dialaminya. Ku coba mendekatinya berharap agar menyadari kehadiranku hingga ia kuasa menceritakan semua,tentang penambangan yang mengila, penebangan yang brutal dan penghancuran yang arogan.

Semakin dekat melihat paras yang menawan, mahkota dan perhatikan pula kegagahannya aku seperti berada di surga. Tidak seperti singgasana yang dia tepati saat ini, lapuk, kotor dan sungguh mengerikan namun mengapa dia tak jua menyadari kedatanganku? Ngaung raung para makhluk ini mencipta hiruk keriuhan.

Lamat-lamat aku perhatikan dia seperti sama sekali tak memperdulikan ku. Hasrat ingin ku sapa sahabat lama itu, sahabat yang sangat indah itu pernah menjadi pesona negeri ini, sahabat yang jua memperkenalkan negeri ini pada dunia yang bundar. “Cendra.... bagaimana kehadiranku ini bisa menghapus gulanamu?”terlalu ragu aku bertanya demikian namun harus kutanyakan itu pada sahabatku namundia masih saja mengacuhkanku.

Dari balik semak yang jorokseseorang menyapaku. Wajah dan raganyahitam kelam. Rambutnya bagai bunga kol yang siap panen. Coreng moreng pada tubuhmenjadi pakaiannya. Karena tatap matanya syahdu dan tak tersembunyi kelicikan, aku tau kalau tak perlu khawatir .

“Hei anak muda mengapa kau bercakap padanya, tidaklah sopan memaksa raga berkata nyata setelah merengang nyawa!”dug. Jantungku berdegup. Nafaskutertahan seakan ada yang mencekik tengorokan. Wajahku pasi. Pupil mataku mengecil. tatapku hampa sementara sebercik bening mengalir darinya.

Pemuda itu terlalu lancang dengan ucapannya, tapi aku sama sekali tak mengerti mengapa aku harus mengiba dan justru dahaga pada kisahnya tentang kekhataman cendrawasih, sahabatku itu. Tak sungkan ia mengisahkanya dengan runtut terurut bagai baris yang berderet. Kisahnya membuat jiwaku meradang.

Cendrawasih telah tiada sementara Izrail tak pernah memberitahuku telah menjemputnya. Ku sentuh tangan, kubelai rambut dan ku rengkuh badannya sebelum ia disemayamkan.Lalu tiba-tiba rekaman ingatan dengannya seakan berputar kembali dalam kubus memoriku.Aku semakin tak mengerti mengapa negeri ini begitu menjijikkan.
“sudahlah, hentikan tangis mu, akan ku ciptakan pusara untuknya” pria hitam itu kemudian menghilang bersama jasad cendra dalam ngaung yang meraung-raung.
Aku mencoba menghitung, ternyata perhitungan ku apik.Tiga puluh tiga tingkatan di tanah timur ini. Di tanah hitam ini telah ku kalkulasikan kemerdekaan yang terhempas.

***

Aku terus memikirkan cendrawasih, ketika Ia berusaha menghadang para pendatang yang membawa pedang dan Ia kukuh merintang orang yang membawa parang. Mereka para penebang jalang yang mesti di terjang dan ditendang. Namun malang nian takdirmu sahabatku. Dalam keseorangan kau harus menghadapi ratusan orang-orang jahannam hingga kau gugur dan kini telah terkubur.

Penjelajahanku masih terlalu ula. aku harus menyeruakkan semua defenisi keriskanan di tanah tengah negeri ini.Di udara yang berlangit cerah, hatiku justru berhalimunredup. Aku terus terbang melintasi langit yang semakin tidak wajar, halimun tercecap aneh, panas. Bukankan seharusnya halimun selalu sejuk? sementara halimun yang kurasakan dihatiku juga bergejolak panas.

Ku lewati gumpalan halimun yang panas itu, mata tajamku seakan menjadi buram dan perih. Tak kuasa aku menahan serangan ini, terpaksa aku harus menukik darurat pada tempat yang tak semestinya. Pandangan terhalangi sehingga tubuhku tergores teranting kering yang rintang merentang.

Gumpalan halimun itu ternyata gerombolan asap ria dan bangga mengubur semua yang dilewatinya. Kusaksikan nyala berkobar pada paru-paru dunia disana. Mengapa terlalu ramai manusia yang begitu kejam terhadap negeri dan alamnya? mengapa mereka begitu tega mengorbankan anak cucu demi kegemerlapan hidup biadapnya? Semantara yang lain harus rela mencari-cari segelas susu untuk nyawa yang baru saja menjadi kecambah didunia.

Dari distrik yang lain seluruh manusia remang terus menerus mengali dan menggali, mencangkul dan mencangkul. Menerobos bumi. Bermodal linggis, pacul dan seutas tali.Mereka menelusuri gua vertikal itu tak ubahnya seperti sumbu Y pada garis cartecius yang misterius.

Di gua-gua itu mereka hanya mencari batu yang membuat mereka mampu bertahan hidup satu atau dua hari saja, sementara gua menganga itu bisa menjadi kuburan galian mereka sendiri jika mati, kemudian hidup menjadi abadi.

“Merdeka..!! Merdeka..!! Merdeka..!!” Seorang tua mendekatiku. Dia tersenyum pilu, Telah kotor tubuhnya oleh tanah liang galian. Kedua tangannya memegang sekopdanlinggis. Tak lepas Ku telusuri sepintas batas si tua itu. Dari raganya yang tragis ku tahu dia seorang penambang batu Intanbekilauan. Batu yang sangat mahal dan jika kau memakainya pada bagian tubuhmu maka semua orang akan takjub.

Mataburamnya tak lagi hitam. Dia menatapku penuh curiga. Wajah pucatnya mendekati wajahku Ialu ia lontarkan kata itu lagi: merdeka!! dengan intonasi yang lebih rendah dan seperti memojok.Dia merogoh saku celananya yang lusuh, dan memperlihatkan intan galian terbesarnya padaku. Matanya seakan berkata “Anak muda, benda yang kucari siang malam dari perut bumi ini tak akan mampu menciptakan kemerdekaan jika aku yang menggenggamnya...” Dia berlalumenjauh begitu saja, tapi justru mendekat dan berenang dalam bara.Dug. jantungku seperti tehunus dua anak panah.

Siang itu telah kusaksikan lagi kematian yang bermakna keluangan. Izrail telah terlalu sombong, mengapa dia terkesan begitu sungkan berbagi cerita denganku, Dimana kini kau wahai izrail?

Apakah lelaki tua itu bodoh atau tidak waras,mengapa ia rela mengorbankan dirinya? sementara ia tak mengerti arti kemerdekaan seutuhnya atau justru ia terlalu faham? Dan apa maksutnya memperlihatkan intan itu?

Setiap jejak yang ku sematkan pada tanah negeri ini selalu saja seribu tanya berlompatan dalam benakku. Sangat liar dan terlalu sering lahir namun tak pernah mati. Tak akan pernah khatam karena semua pertanyaan demi pertanyaan tak pernah ada jawaban.

Akhirnya ku temukan jawaban dari satu tanya yang sedari tadi memberontak dalam benakku, dan itu berarti sembilan ratus sembilan puluh sembilan pertanyaan belum ku temukan jawabnya.

Jawaban dari satu tanya itu adalah karena lelaki itu terlalu bodoh dan tolol, Benar bukan? Dia bahkan tidak mengerti arti kemerdekaan yang sesungguhnya, karena dia tidak sekolah dan tak berpendidikan.Pendidikan terlalu mahal dan kemerdekaan hanya mampu di beli oleh orang-orang yang kaya raya saja. Kemerdekaan hanya geliat orgasme orang-orang besar saja. Kemerdekaan hanya bersetubuh dengan orang-orang yang penting saja. sementara orang tua itu bukan siapa-siapa dan lagi-lagi pilihan untuk mati tak perlu membayar.

Kemudian ku mengerti makna intan itu, bahkah ribuan bongkah jumlahnya takkan mampu membungkam Izrail. Tak terkecuali para tor yang sering suap-menyuap itu.
Aku mencoba membilang lagi, Tiga puluh tiga tingkatan di tanah tengah ini, artinya telah enam puluh enam tingkatan di dua huria.Di tanah intan ini telah ku kalkulasikan kemerdekaan yang tercabik-cabik.

***

Antara terpaan topan dan halilintar yang sangat mendera aku terus berusaha menggenapkan sepertiga bagian kemerdekaan lagi di negeri ini. Di setiap terpaan selalu bahkan terlalu kurasakan tulang-tulangku seperti retak, lengan-lengankuseperti patah dan ragaku semakin lelah. Hanya sepertiga lagi saja. Dan aku rebah.

Aku senyap dalam luka, kemudian bersembunyi di balik rerimbun daun yang enggan bersenyawa pada dahannya.Nafasku tersengal.Pandanganku memburuk seperti tikus tanah. Harus ku akui negeri ini memang raya, pantas Eropa pernah merebutnya. Aku tak boleh berhenti disini, hanya tinggal beberapa langkah lagi aku pasti bisa menggenapkan kemerdekaan ini.

Kemudian kusaksikan berjuta angkara di tanah barat negeri ini, bagai hamparan padang yang di tumbuh ilalang. Sungguh Para wanita telah menjadi ladang-ladang jalang yang telanjang sementarapara lelaki telah menjadi tirani-tirani birahi.
Sore ini di sebuah gang pertokoan yang ramai, lihatlah seorang anak lugu dengan pakaian lusuh dan kumuh terdiam kaku itu.Matanya liar dan begitu dahaga seperti kehausan akan sesuatu. Perlahan tapi pasti dia bergerak mendekati keramaian dan seketika tangannya yang sedari tadi kosong melompong telah memegang sebuah dompet berwarna coklat tua. Lalu berlalu. Ku hitung kemerdekaanya.

Beberapa bocah yang bercanda di bundaran itu sepertinya ceria. Dengan ukulele dan gemerincing tutup botol mereka bersenandung, dan itulah yang menjadi modal utama. Mereka selalu bisa dapatkan kebahagiaan setelah menerima lembaran dari para penunggang kendaraan. Kemudian berseloyor saja. Ku tambahkan catatan kemerdekaannya.
Genap sudah perhitunganku akan kemerdekaan, telah ku rekam semua yang dikerjakan wanita-wanita malam, mereka begitu riang ketika menerima uang dari para bujang atau bangka-bangka bajingan.

Malam ini juga aku akan kalkulasikan semuanya dengan aman, nyaman dan pikiran tenang walau jiwa ragaku kian meradang.Di sudut kota ini, telah kudokumentasikan seluruh kemerdekaan yang remang. Akan ku khabarkan padamu semuanya dengan lantang. Di tanah barat negeri ini ku hitung lagi tiga puluh tiga tingkatan yang gamang.
Seperti yang telah ku ikrarkan, maka total seluruh kemerdekaanpada tiga huria dalam satu negeri ini tiga puluh tiga dikalikan tiga maka hasilnya adalah sembilan puluh sembilan tingkat kemerdekaan. Jumlah yang menakjubkan bukan?

Aku mulai tenang namun sepertinya ada yang mengintai ku di sudut remang ini, mahkluk-makhluk yang garang mendekatiku, mata-mata yang begitu jahat mengeliat, dengusannya begitu mengerikan. Semakin mendekat mereka semakin terlihat bajingan. Mahkluk-Makhluk itu mendekapku yang telah semakin lemah. Aku hanya mampu menyerah. Ku rasakan aku diperkosadalam siksa yang terpaksa, mahkota ku terkoyak-koyak.
Dalam kelam yang legam di sudut rentan. Kucantumkan satu kemerdekaan lagi pada sembilan puluh sembilan. Maka genaplah sudah menjadiseratus tingkatan. Yakinlah ini adalah angka yang sangat sempurna yang simultan.

Aku layu setelah ribuan perjalanan ku rentang. Tak kuasa aku untuk bangkit dan terus berjuang. Dan Sempurnalah sudah kemerdekaan yang ternyata hanya fatamorgana, kemudian ku saksikan Izrail telah menungguku di hadapan sana. “telah saatnya kau merasakan keluangan kawan” begitu sapanya dan aku begitu mengerti maksudnya.
Sebelum aku pergi akan aku ikrarkan: Di sini, di negeri ini yang raya ini telah kurasakan kemerdekaan yang sesungguhnya yaitu kemerdekaan malang yang terkoyak-koyak.

Tidak ada komentar: