Laman

Senin, 30 Januari 2012

AKU INGIN BERSAMA DORAEMON

Sesaat lagi hari gelap, namun aku masih ingin menatap langit senja jingga dari jendela kamar yang berjeruji. Tekatku telah bulat, aku akan menemui doraemon. Ingin ku terbang ke angkasa dengan baling-baling bambu. Keliling dunia dengan pintu kemana saja. Dan ingin menyaksikan sejarah juga masa depan dengan mesin waktu. Aku sudah tak tahan lagi berada di kamar ini, semua palsu. Doraemon-doraemon ini tak pernah membuatku ceria, pulpen, boneka, poster, guling, bahkan cermin doraemon yang selalu tersenyum padaku.

Jengah aku untuk menjerit lagi malam ini. Kegaduhan telah tak berarti seperti dahulu, mami selalu memberikanku doraemon yang sama sekali tak seperti yang kuharap. Dan kini menjejal di kamar ini.

Mami akan membawakan makan malam sebentar lagi, dalam piring berwajag doraemon serta jeruk hangat dalam gelas doraemon. Hentak langkah kaki mami terlalu kentara ku rasakan. Aku harus tenang menghadapi mami yang semakin menggila. Mengikat dan membungkamku jika aku kesal. Pintu dengan wallpaper doraemon terbuka dari luar, sedari tadi pintu itu tertutup walau ku memaksa membukanya.

“mami bawakan kau makanan sayang.”
Wajahnya letih, matanya sembab,jarang tidur sepertinya. Aku harus bersikap tenang malam ini.

Mami tak ingin lagi mengajakku berbicara bahkan bercerita,tentang apa saja apalagi tentang doraemon dengan semua keajaibannya. Mungkin semua kisah telah habis diceritakan olehnya. Ku habiskan semua makanan dan minuman yang disugukan mami. Entah kenapa makan malam selalu sedap kurasakan. Sementara sarapan pagi dan makan siang selalu ku abaikan, walau mami memaksaku aku tetap menolaknya. Aku menbisu, giris aku jika mami mengikat dan membungkamku lagi dan menyuruh orang-orang aneh dengan pakaian putih menyuntikkan sesuatu ke tubuhku.

Aku harus menemui doraemon malam ini. Ku baringkan tubuhku pada springbed dengan sprai gambar doraemon, mengelabui mami. Mami mengunci pintu lagi, inilah saatnya. Aku bangkit dan mengemasi bekal-bekal dalam tas doraemon jika saja terjadi sesuatu sebelum menjumpai doraemon.

Ku buka pintu sangat hati-hati dengan kunci yang ku curi dari mami, beliau semakin lengah belakangan ini. Ku lirik sekeliling mami tak terlihat, mungkin sudah tidur. Langkahku pelan menyusuri anak tangga dari makam doraemon ke pintu keluar. Dan kini ku berada di luar penjara yang menjemukan itu yang selama ini menahanku menjumpai doraemon.

Jalanan sangat sepi, bahkan nyaring nyanyian jangkrikpun tak terdengar. Kemana kendaraan yang sering lalu lalang sebelum larut? Atau mungkin ratusan pengendaranya telah sepakat untuk tidak melewati jalur ini? Tapi, ah... apa peduliku. Aku hanya ingin bertemu doraemon di taman.

Langkahku semakin cepat, ku tak ingin gerbang taman kota segara ditutup. Rasanya taman semakin menjauh menghindariku. Apakah doraemon marah padaku? Aku tak ingin ini terjadi. Aku harus mengejar dengan sekuat tenaga, ku lihat dari kejauhan pagar beton lima meter dan gerbang taman yang indah itu mulai menutup. Aku harus cepat, aku harus cepat. Pikiranku terus menjurus pada doraemon yang sedang menanti kedatangganku. Aku harus berpacu dengan waktu sebelum gerbang itu benar-benar tertutup. Aku tak peduli semak-semak dan duri-duri rawa menyayat tubuhku. Aku hanya ingin bertemu doraemon.

Sedikit lagi! Aku akan masuk ke taman itu, tinggal sedikit lagi. Imajinasiku berlompatan karena sesaat lagi aku akan menjumpai doraemon. Semua daftar aktivitasku jika bersama doraemon masih terekam dalam benakku. Melawan makhluk luar angkasa, berpetualang ke dunia dinosaurus, berkunjung ke kerjaan atlantis, sampai mengikuti dan menyaksikan perdaban teknologi masa depan. Aku sudah sangat siap untuk semua itu.
Nafasku masih tersengal dan tiba-tiba tercekat ketika gerbang tertutup rapat sebelum aku sempat melaluinya. Dentumnya beresonansi dengan jantungku. Langkahku kaku, tatapku kosong. Doraemon pasti tak ingin lagi menjumpaiku. Apa dia benar-benar marah karena aku telah mengingkari janji? Ingin rasanya aku menjerit lagi, tapi nafasku masih belum teratur. Aku sesunggukan, alir air mata bercampur darah dari wajah yang tersayat-sayat. Lampu-lampu dari taman yang indah itu satu persatu mulai padam, remang dan sepi. Gerimispun mulai turun mencoba memandikanku dari lumpur dan darah. Dan aku meringkuk memeluk tas doraemon.

Ah, aku sudah tak peduli dengan semua daftar-daftar itu dan berjanji tak akan berharap apa-apa. Tak ingin merengek untuk berpetualang bersamanya, aku bersungguh-sungguh.

Pikiranku menerawang mencari celah. Pengorbanan malam ini tak boleh di sia-siakan. Apayang harus aku lakukan? Aku hanya ingi bersama doraemon. Menatap indahnya, memeluknya, menyapanya untuk sesaat. Hanya sepuluh menit saja, atau jika terlalu lama tiga menit saja, atau sedetikpun aku rela. Aku hanya ingin bersama doraemon.
Ya! Perbekalanku, aku pasti membawanya. Harap cemas aku merogoh tas doraemon, berharap doraemon masih menungguku di dalam taman indah itu. Ini dia! Lingkaran penembus, waktuku sangat singkat. Ku gunakan alat itu pada dinding beton kokoh, ku terobos dan aku melesup kedalam. Aku terpental, rasanya bagian tubuhku ada yang patah. Aku tak peduli.

Tubuhku semakin ringkih, langkahku tak beraturan. Ternyata Doraemon masih menungguku dan kini tepat di hadapanku dalam remang cahaya dari lampu taman. Dia menyapaku dengan mengangkat tangannya, bahagiaku tak terperi. Oh tidak... dia akan pergi, sapa itu adalah salam perpisahan. aku panik, sebercik cahaya kecil dari angkasa membesar dan terus membesar diiringi dengan hembusan angin yang kacau. Dia akan segera pergi. “jangan pergi dulu doraemon, aku mohon...!” pintaku padanya. “namaku anisah!” aku mencoba menerobos cahaya dan melawan tiupan angin itu, rambutku tergerai tak beraturan. Aku terus berusaha merangkulnya namun hanya sempat menyentuh tangan bundarnya. Dan cahaya itupun lenyap bersama sosoknya. Harapku terkabul.

Gerimis semakin lebat, petir menyambar-nyambar, akan ku ceritakan peristiwa ini pada mami. Aku harus segera pulang. Rasa bahagia tak bisa ku gambarkan. Aku yakin dia akan menjumpaiku lagi. Ku lewati lingkaran penembus ke luar taman, hujan terus mengguyur bersama sebuah baling-baling bambu yang jatuh di hadapan ku. Aku menatap langit berterimakasih pada doraemon. Ku kenakan baling-baling bambu itu, mataku buram, nafasku letih, langkahku lunglai belum sempat terbang aku tumbang.

Pagi yang lembab, suara gaduh mengerumuniku. Pasti seseorang mendekapku, kumerasakan ksehangatannya. Kembali ku dengar isak yang ku kenal. Mami menangis lagi.
“maafkan mami sayang, maafkan mami, semua dongeng tentang doraemon telah meracuni pikiranmu sayang” mami masih terisak memelukku.

“ayo keluarkan dia dari hutan belantara ini, dan bawa dia kerumah sakit!” suara berat itu jelas terdengar di telingaku. Hutan belantara? Apa mereka tidak melihat taman yang indah disekitarnya. Aku ingin jelaskan semua, tapi suaraku kelu. Mereka membopongku dan aku masih memengang baling-baling bambu yang bertuliskan ‘for annisah’.

3-4 oktober 2010

Tidak ada komentar: