Laman

Senin, 30 Januari 2012

Sa I karoi

Aku perhatikan Ama mempersiapkan peralatan berburu itu. Tiga buah kunyur tajam, parang panjang, beberapa utas tali, pisau dan tentu saja Tongpi: anjing peliharaan yang setia. “Ama, Aku boleh ikut untuk berburu?” tanyaku hati-hati. Ama mengerling sekejap lalu mengalihkan pandangannya. “wen, kemari nak, coba kau ayunkan parang ini” serunya sambil meyodorkan benda itu padaku dan aku menyanggupinya. Aku senang Ama tersenyum padaku, “sekarang coba kau angkat kunyur itu!” antusias ku angkat kunyur yang empat kali lebih tinggi dari tubuhku. berdiriku oleng hingga jatuh terduduk, benda itu sungguh berat bagiku. Ama hanya tersenyum, aku tersipu.


Ama memang orang yang kuat, tubuhnya kekar dan otot-otot lengannya begitu kentara terlihat. Sesaat lagi dia akan pergi ke hutan bersama teman-temannya yang telah menunggu di halaman rumah. Ama berpamitan pada Ine dan tentunya padaku. “Wen, kamu harus mempertahankan milikmu dari orang jahat, jangan biarkan mereka mengobrak abrik dan merampas milik kita” nasihat Ama, sebelum akhirnya Aku melihat mereka menjauh menuju hutan. Aku bangga memiliki Ama yang hebat.


Beberapa hari yang lalu tetangga sebelah mengadu kepada Ama, tentang kebun baru palawijanya di kaki gunung yang dirusak babi hutan, kemarin tetangga seberang juga mengadukan hal yang sama, kebun kopi yang baru dibuka di hutan telah dihancurkan babi. Bahkan sebelum ama pergi pagi tadi dari halaman rumah, ibu-ibu santer membicarakan babi yang membongkar kebun singkong mereka di hutan. Anehnya umbi-umbi singkong itu tak ada bekas dimakan.


Aku terkenang kalimat Ama sebelum pergi, “mempertahankan milikmu dari orang-orang jahat...” Aku yakin maksud Ama tentang orang-orang jahat itu pasti babi-babi yang telah merusak dan mengobrak-abrik kebun kami dan tetanggaku. Ama benar-benar pahlawan, demi mempertahankan miliknya, Dia rela bermalam di rimba yang dingin menusuk tulang dan membunuh babi-babi jahat yang merugikan. Jika besar nanti Aku juga ingin seperti Ama: mengacungkan kunyur dan menghunuskan ke tubuh babi perusak itu dan itu berarti aku telah mempertahankan milikku juga milik kampung ini.


Usai makan malam bersama Ine, aku memperlihatkan gambar paling bagus yang kuselesaikan siang tadi. Seorang lelaki perkasa yang membujurkan tombak ke udara dan puluhan babi mati di sekitarnya. “Ne, lihat ini gambar Ama yang bunuh babi” ujarku bersemangat, Ine tersenyum namun jelas terlihat dipaksakan, apa Ine tak suka gambarku? “Ine, Ama akan pulang besok kan?!” tanyaku mendesak. Ine hanya mengangguk. “sudahlah, sudah malam, besok kan kamu sekolah, ayo tidur!” Ine mengantarkanku ke kamar dan aku terus membayangkan betapa hebatnya Ama mungaro babi-babi jahat itu sebelum akhirnya Aku terlelap.


Aku bangun lebih pagi hari ini, menanti Ama pulang. Ku dengar suara Ine memasak di dapur, Ine ternyata bangun lebih cepat dariku. “sudah bangun Wen? Mandi, terus sarapan. Baju sekolah udah Ine siapkan di kamar” segera ku turuti perintahnya.


Hendak berangkat ke sekolah aku bertanya lagi pada Ine, kapan Ama pulang. Aku ingin melihat kegagahan ama usai ngaro di hutan. “mungkin nanti siang Wen” jawabnya lirih. Aku semakin antusias mengunggu ama. Aku selipkan gambar ama yang perkasa ke dalam tas dan berangkat dengan riang.


Sambil memamerkan gambar yang paling bagus itu, di sekolah aku bercerita pada teman-teman tentang kehebatan ama saat mungaro. Melewati semak belukar di rimba dan membunuh babi-babi liar yang telah merusak kebun milik mereka. Teman-teman kagum mendengar ceritaku bahkan mereka sampai berencana kerumahku usai pulang sekolah hanya untuk melihat kegagahan Ama. Rencana itu sangat memukauku.


Siang ini Aku pulang bersama teman-teman, dari jauh ku lihat rumah telah ramai dengan warga kampung, Ama pasti sudah pulang, Aku semakin tak sabar. Tak ku sangka begitu banyak warga telah menyambut kedatangannya. Kami mendekati kerumunan manusia itu. Mereka pasti berterima kasih atas usaha dan jasa Ama yang telah ‘mempertahankan’ milik kami. Tapi teman-temanku terlihat heran memandangi wajah warga yang memilukan, begitupun Aku.


Kami semakin mendekat dan kudengar isak tangis, Ine. Apa yang sebenarnya terjadi? Ku terobos kerumunan manusia dan Aku tak percaya yang ku saksikan, Ama terkulai di pangkuan Ine dari mulut dan hidungnya mengalir darah, beberapa bagian tubuhnya terkoyak bersimbah darah. Tak ada kunyur, parang atau sebilah pisaupun di tangannya. Aku hanya bisa terpaku beku diantara kerumunan manusia.


Esok harinya di pemakaman, aku terkenang nasihat yang menjadi kalimat terakhir ama tentang mempertahankan milikku dari orang-orang jahat. Seketika itu pula aku terhenyak dan tersadar, ternyata babi-babi itu sesungguhnya mempertahankan milik mereka.

Tidak ada komentar: