Laman

Senin, 30 Januari 2012

PERJALANAN HIDUP

Hari yang indah, udara segar menyelinap ke relung-relung ruangan rumahku. Aku merenung memperhatikan burung –burung yan berkicauan diatas pohon rindang di samping rumahku. Aku iri pada burung-burung yang begitu leluasa berkicau, terbang, seakan-akan tak ada masalah yang menghampirinya. Aku ingin seperti mereka yang bebas hidup tanpa
ada masalah.

Tiba-tiba ibu datang menyadarkanku dari lamunan ku. Ibu memeluk ku erat karena ia tau apa yang ku alami. Aku memikirkan perkataan teman-teman sekolahku yang menceritakan kehidupan mereka yang begitu indah bersama keluarga yang lengkap, bersama dengan ibu, ayah, adik-adik, abang dan kakak. Mereka sangat bahagia dapat merasakan indahnya dimanja oleh seorang ayah, pergi kesekolah dengan ayah, jalan-jalan bersama juga dengan ayah. Sungguh bahagia. Sementara aku hanya tinggal dengan ibu dan seorang kakak yang masih kelas dua di sekolah menengah. Aku masih sangat muda bocah yang berumur belasan tahun yang baru duduk di kelas lima sekolah dasar. Di sekolah selalu saja ada yang menceritakan tentang ayahanya, aku merasa sangat bodoh atau apalah istilahnya karena aku tak mampu untuk menceritakan bahagianya mendapatkan kasih sayang seorang ayah. Aku tersenyum mendengarkan semua cerita mereka seolah aku juga merasakan kebahagiaan itu namun hati ini teriris dan aku tak kuasa tuk menahan luka ini.

Aku dendam pada ayahku. Mengapa ia harus pergi meninggalkanku saat aku belum sempat melihat wajahnya bahkan aku belum pernah melihat dunia, karena aku masih berada dalam alam yang berbeda, dalam rahim ibuku. Aku dalam kandungannya. Kakak hanya manusia yang baru saja lepas dari susuan saat itu yang hanya berusia tidak lebih dari dua tahun. Semuanya karena sesuatu yang disebut materi. Kenapa ini terjadi? Hatiku menjerit. Aku tak tau apa rasanya, pahitkah atau sengsara, yang jelas aku menderita karena tidak pernah mencicipi taburan kasih sayang seorang ayah seperti apa yang teman-teman ceritakan disekolah tapi hanya kasih sayang dari sorang ibu. Hanya ibu. Ibu segalanya untukku, jiwanya begitu besar dalam mendidik dan membesarkan kami. Aku dan kakakku. Ibu membanting tulang pergi pagi pulang petang untuk bekerja memeras keringat demi dua nyawa yang mesti dia hidupi yang membuatnya kuat walau dalam kesendiriannya.

Ibu masih memelukku erat, aku masih dalam dekapanya. Sayup kudengar ibu memancarkan ku beberapa kalimat yang tak bisa ku lupakan. "jadilah anak yang saleh, kuat dalam mengarungi semua masalah dan tetaplah tersenyum meski orang menyakiti hatimu. Sekarang kembalilah terseyum, jangan ungkit-ungkit masa lalumu yang pahit dan jangan sekali-kali membenci ayah mu. Meski bagaimanapun ia tetap ayah kandung mu anakku". Mendengar kalimat itu aku menggenggam ibu lebih erat, aku tak mampu membendung air mata, aku menangis, aku tak mampu menghentikan isak tangisku. Ibu sangat sayang padaku. Aku malu pada diriku yang membuatku membenci ayah hanya karena cerita teman-teman sekolahku.

***

Minggu berganti bulan dan Bulan berganti tahun, Aku telah duduk di bangku sekolah menengah atas kelas tiga, waktu begitu cepat berlalu dan hari-hari ujian akhir semakin menghampiriku. Aku terus belajar dan berusaha semakin giat agar lulus pada ujian akhr nasional nanti. Aku ingin membuat ibu tersenyum bahagia. Sejak kami kecil hanya ibu yang bekerja keras demi aku dan kakak. Walau tanpa ayah ibu sanggup menyekolahkan kami dan sekarang kakak telah kuliah diperguruan tinggi terkenal.

Malam telah tiba ku melihat ibu telah tetidur lelap, aku terus memandangi wajahnya, aku mendekati ibu. Aku mengenang semua jasa-jasanya terhadap kami, begitu besar kasih sayang yang terpacar dari wajahnya. Tanpa sadar mataku berlinang dan meneteskan air mata. Benakku mulai memberontak, mengapa ibu mesti mengalami nasib yang seburuk ini, menghidupi anak-anaknya tanpa seorang suami yang mendampingi. Ayah tega meninggalkannya, karena keluarga ibu tidak dapat membiayai kuliah ayah. Ayah tau kalau keluarga ibu pas-pasan dan tidak memiliki harta berlimpah. Kakek juga harus menyekolahkan paman dan bibiku, adik dari ibuku. Ayah Sungguh keterlaluan.


Malam semakin larut tapi aku belum mampu mengalihkan pandangan dari wajah ibu dan air mata ku belum juga berhenti mengalir aku terus mamikirkan kehidupan kami yang pahit ini. Ujian akhir juga semakin dekat dan ibu telah berjanji untuk melanjutkanku keperguruan tinggi dan selama ini ayah tidak pernah datang untuk menjengukku. Aku tidak tau apakah aku harus rindu atau membencinnya.larut malam membuatku terlelap mengarungi malam dekat ibuku.

Esoknya baru saja aku pulang dari sekolah teryata di rumahku telah kedatangan tamu, Aku heran karena aku tak pernah melihat tamu itu sebelumnya. Aku tak mengenali mereka. Seorang bapak yang didampingi oleh istrinya. Kakak menceritakan semuanya padaku tentang tamu itu ketika ia tiba dari sekolah. Kata kakak pria itu adalah ayahku, pria yang selama ini meninggalkan aku, meninggalkan kami semua. Aku tersentak dan jantungku seakan jatuh dari tempatnya. Tak ada kata-kata yang bisa aku ucapkan untuk mengungkapkan perasaanku yang campur baur. Pikiranku kosong. Aku lari dan bersembunyi berjam-jam dibawah kolong tempat tidur dan berharap agar pria dan istrinya itu segera pergi meninggalkan rumah ini karena hanya itu yang bisa aku lakukan. Pikiranku melayang, apakah kedatanganya untuk memisahkan aku dengan ibu. Aku baru sadar kalau aku sangat marah akan kedatangannya tapi aku menahan dan berusaha meredam amarah ini demi menjaga kesopanan seperti yang ibu pernah ajarkan, aku bersembunyi karena itulah jalan terbaik. Itulah kali pertama aku melihat wajah ayah dan kali pertama ia menjengukku. Aku hanya bisa menangis dan hanya menangis. Tak terasa malam juga semakin larut dan jam telah menunjukkan pukul 3 pagi aku harus tidur dan besok pagi aku harus menjalankan aktivitasku sehari-hari yaitu sekolah.

Pagi-pagi sekali aku telah barangkat ke sekolah, udara begitu dingin. Sekolahku tidak begitu jauh dari rumah dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Hari ini aku harus cepat karena giliranku untuk membersihkan kelas. Aku harus bersabar karena beberapa saat lagi UAN akan tiba dan kebiasaan ini akan berakhir maka aku harus tabah menjalani semua ini pikirku, hingga ku tiba di pdpan pintu gerbang sekolahku.

Di kelas aku membersihkan ruangan bersama dengan dua orang teman. Setelah semuanya rapi dan bersih kami berkumpul di halaman bersama teman-teman yang lain untuk mengikuti kultum pagi. Kebiasaan disekolah kami.

Sekolah begitu damai, teman dan guru-guruku juga ramah. Terasa berat untuk meninggalkan sekolah yang tercinta yang selama ini merangkul semua kenangan yang tak mungkin kulupakan. Di sekolah ini aku menjadi kuat dalam menghadapi hidup, begitu berat tuk berpisah dengan sekolahku.

Hari senin, hari yang membuat semua jantung siswa berdegup kencang begitu juga aku, aku takut dan gelisah menghadapi ujian. Aku cemas, tapi kegelisahan dan kecemasan itu sirna setelah ibu menyemangatiku agar aku yakin melewati ujian yang menentukan masa depanku. Aku yakin dan terus berdo'a, aku telah melewati hari-hari ujian. Dalam benakku hanya ada ibu tercinta dan aku harus berhasil dan sukses dalam ujian ini. Esok adalah pengumuman hasil kelulusan dan aku melihat namaku terukir di lembaran kelulusan itu. Berlinang air mata kebahagiaan dari mataku. Aku sungguh sangat bersyukur pada-Nya.


***


Ibu bisa tersenyum lega kini. Ibu telah berhasil menyekolahkan kami hingga keperguruan tinggi hingga kakak mendapatkan gelar sarjana dan mengabdi pada negara sebagai pegawai negri sipil. Senyuman terpancar dari wajah ibu dan aku dapan melihatnya. Aku sangat bangga pada ibu yang telah berjuang keras dan jerih payahnya mengiringi kakak pada kesuksesan, semuanya terasa terlunasi. Akulah harapan lain dari ibu, aku mesti melanjutkan perjuangan untuk mendapatkan gelar sarjana. Bahagiaku bercampur haru. Kebahagiaan yang tak terhingga walau tanpa ayah ibu dapat menyekolahkan kami hingga keperguruan tinggi dari masa-masa yang sulit dan pahit. Allah memberikan kebahagiaan yang sungguh tak terkita untuk kami. Kini kehidupan kami berkecukupan dan kebahagiaan terus menyelimuti kami.


cerpen ini karya temanku ARINI TEMAS MIKO

Tidak ada komentar: