Laman

Senin, 30 Januari 2012

BUKTI NYATA YANG BIASA



Seperti hari-hari sebelumnya aku melihatnya lagi, selalu begitu, tak pernah ada perubahan. biadap! Jangan salahkan aku jika aku sebut pemuda itu begitu. Dasar pemalas, bagaimana negara ini bisa maju jika dia dan bahkan semua manusia indonesia sepertinya.? Opss.. aku salah, seharusnya aku berkata: APA!!? Dan aku harusnya kaget dan bembelalakkan mata ku, karena itu lebih layak sepertinya.

Indonesia maju?? Tidak pantas dan tidak mungkin negara ini disebut seperti itu, aku akan menjawab jika ada pertanyaan mengapa, karena negara ini besar bahkan terlalu besar, namun penghuninya kecil, hatinya yang kecil dan busuk seperti dia, pemuda pemalas itu, biadap. Negara ini sudah terlalu lama amburadul, Sudah berakar dengan kelicikan dan tumpukan kotoran. Sudah sangat berantakan seperti makanan pokokku yang selalu ku kais dari sisa makanan mereka, manusia-manusia busuk, manusia-manusia yang intelek katanya berulang-ulang.


Dia terlambat lagi, terlambat menerima ocehan seorang tua yang terus mengoceh tak karuan dengan segala teori-teori tak berarti namun tak pernah terpateri. Entahlah kalau dia terlambat karena harus membersihkan jerawat yang lekat di wajahnya atau harus mengosok gigi yang telah di huni kuman-kuman yang membusukkan, menyisir rambutnya agar rapi, biar terlihat bersih dan pede. andai dia mengerjakan itu semua, Mungkin itu alasan yang cukup indah untuk di terima. Ah,.. ternyata bukan itu lakunya, dia terlalu sibuk dengan dengan mimpi-mimpi indahnya, saking indahnya aku sampai muak, jijik dan akan muntah bila menceritakannya. Mimpi di pagi hari yang tak berisi. Memimpikan hal-hal yang yang dilakukan oleh babi-babi birahi.

***

Selalu membuat ku tertawa, karena di setiap pagi aku sungguh tergelitik oleh kelakuan makhluk berakal yang berotak besar itu. Menyenangkan, sangat menyenangkan, geli. Perutku geli, jujur aku tak mampu menahan kegelian ini. Geli. Aku tertawa terbahak-bahak melihat tontonan yang sungguh mengelikan. kenapa? Dia terlambat. Bukankah itu sungguh mengelikan?

Dia itu adalah seorang pemuda, kuat dan bertenaga. Dia mahasiswa. Dia tidak terlambat 10 atau 20 menit. Tapi tidak kurang dari satu jam, dua kali 30 menit, dan semua orang tahu hal itu. Itu yang membuat ku tertawa geli. Aku tak mampu menahan gelak yang sangat menggelitik urat syaraf tertawa ku. Namun itu hanya pemanasan saja. Itu hanya permulaan dari tawaku.

"permisi pak, boleh saya masuk?" itu tanyanya. Kalimat yang ribuan kali dia ucapkan dan ribuan kali pula aku dengar setiap jam kuliah. Terkadang aku tidak menghiraukan perkataan itu. Sudah terhafal di luar kepala. Andai surat suci dari kitap-Nya yang terhafal oleh ku. Berhamburan pahala yang di janjikan oleh-Nya padaku. Tapi apalah artinya aku. Aku adalah makhluk tuhan yang tak akan pernah kemana-mana, tak akan pernah hadir di surga ataupun neraka. Aku tak perduli apakah aku mulia ataupun hina. Karena aku tak harus terikat dengan dua kata itu. Tidak seperti dia. Pemuda itu. Dia mahasiswa yang tentu telah mengerti arti mulia dan hina, dan juga mereka semua makhluk-makhluk berakal yang berotak besar.

"silakan masuk!" terdengar jawaban dari seseorang yang pantas menjawab pertanyaan pemuda itu. Seseorang yang selalu saja menimpali ocehan pada orang-orang yang ingin mendapatkan sehelai kertas bernama diri, besimbol perguruan tinggi, tanda tangan yang entah untuk apa diberi juga legalaisir komposisinya. Mengelikan bukan?
Mereka sebut itu dengan ijazah. Mendapatkannya hampir membuat kepala pecah. Lucu sekali. Sangat lucu. Sungguh konyol bukan? Orang yang sering ku dengar disebut dosen itu mempersilakan dia masuk. Aku tak tahan, perut ku tergelitik oleh kebodohan mereka.

Dia menyelonong masuk setelah dua paduan kata yang keluar dari dosen yang mengajarkan agama itu tertangkap kupingnya. Kali ini ocehannya tentang zina yang sangat dimurkai yang kuasa. Pemuda itu langsung duduk dan diam. Matanya menjurus pada dosen itu, telinganya juga setia mendengar ocehannya. Aman dan nyaman. Dia mahasiswa. Dosen itu terus mengoceh.

Buang-buang waktu dosen itu. Ditambah lagi harus mengeluarkan suara yang dikiranya tak mahal dibarengi dengan cipratan liur dan buih yang sesekali mengelembung. Bodoh. Tak pantas ku kira dia jadi seorang pengajar. Dia itu penghianat intelektual bahkan penghianat moral. Aku bukan hanya sekedar megumbar fitnah atau benci terhadapnya, bukan pula pendusta. Karena aku tau buktinya. Bodoh, dosen itu lebih bodoh dari mahasiswanya. Mahasiswa itu saja memamfaatkan waktunya dengan mengisi kenikmatan syahwatnya. Karena ku tau isi otaknya yang mengulang dan menghayati kembali mimpi joroknya tadi pagi. Sementara dia hanya mengoceh tak berguna.

***

Mereka keluar, Sementara waktu belum seharusnya secepat itu untuk menyudahi kuliah. Ah.. tapi temanku bilang itu biasa. Karena itu bukan rekayasa. Ruang sepi, mereka berserak menyebar, bubar. Hanya satu dua orang yang ke gudang buku cari ilmu.
Lihat mereka, bercanda, ceria, berkumpul dan sebagian saling merangkul. Tak salah lagi, mereka kesini. Ke wilayah penjelajahanku cari rezeki. Aku mengerti mereka harus mengunyah untuk perut yang harus diisi. Saat-saat ini lah yang ku nanti. Karena perutku juga harus di beri. Dia juga kesini, namun tak sendiri, berdua dengan seorang bidadari atau putri. Aku dekati mereka agar aku tak harus menerka apa bicara mereka. Untuk mendengar bicara-bicara fakta. Persis seperti yang aku duga. Dia bangga dengan mimpi hinanya dan mengumbarnya nyata. Luar biasa putri itupun bahagia tertawa. Ah.. itu juga sesuatu yang biasa ku kira.

Dasar wanita, mungkin itu tabiatnya, ingin selalu mencari bahagia. Tanpa sadar ia telah membongkar pintu derita bahkan membuat siksa untuk dirinya. Lebih-lebih lagi menjadi durhaka pada orang tua. Aku tau buktinya. Karena aku mendengarnya sendiri sebuah pengakuan yang terdengar oleh kuping ku yang peka, disini. Di tempat yang sama.

Ku berputar antara mereka, ku dengar jelas perkataan mereka, sangat jelas.
"bang, asyik ya bisa seperti itu, malam ini kita coba ya?"
"malam ini abang buat adek melayang dan terlena"
Itu jelas ku dengar dan bukan rekayasa. Mereka seakan terikat oleh hasrat yang sangat erat. Mereka mahasiswa. Rajin sekali. Sangat rajin untuk berbuat nista. Minggu lalu juga aku dapati konsep yang sama dari mereka.
"sayang semalam kau begitu perkasa, seperti gatot kaca"
" kau juga sayang, begitu angresif aku susah dan ahhh..."
Mereka itu mahasiswa, calon intelektual penerus untuk membongkar kebobrokan bangsa yang telah berantakan seperti makanan pokokku yang harus ku kais dari sisa makanan mereka.

Dia mahasiswa, putri itu juga, apalagi ia adalah anak pengoceh ternama dan tak lain adalah dosen agama. Berapa kali harus ku ulangi kalau mereka mahasiswa.
Mereka beranjak berlalu, mengeluarkan uang beberapa ribu. Menyerahkannya pada seorang ibu, dan hanya meninggalkan sesuatau, sisa-sisa kuah, nasi dan tulang-tulang ikan goreng yang sangat lezat. Inilah waktu yang ku tunggu-tunggu.
"Meong".

Tidak ada komentar: